Pada periode ini banyak terbitan
buku kritik sastra berupa kumpulan esai, di samping juga penelitian-penelitian
sastra ilmiah, baik dari para krtitikus sastrawan maupun kritikus-kritikus
akademik. Periode ini ditandai pula dengan banyaknya teori sastra dan kritik
sastra dari barat.
Pada awal tahun 1970-an telah
dikenal nama kritik sastra struktural (Hutagalung 1975:18), bahkan juga akhir
tahun 1960-an telah dikenal nama krtik sastra struktural itu (Saleh Saad,
1967:115—116). Akan tetapi, secara nyata teori teori struktural itu baru
dikenal di Indonesia pada paro kedua tahun 1970-an, terutama diperkenalkan oleh
Umar Junus dan A. Teeuw (1983:61). Lebih-lebih setelah diperkenalkan buku J.
Culler Structuralist Poetics (1975)
dan buku Fokkema Theories of Literature
in the Twentieth Century (1977).
Di smaping itu, pada pertengahan
tahun 1970-an mulai dikenal teori sosiologi sastra dalam kritik sastra
Indonesia modern. Teori dan metode
sosiologi sastra ini diperkenalkan oleh Sapardi Djoko Damono dan Umar Junus.
Teori sosiologi sastra muncul berhubungan dengan diperkenalkannya teori sastra
Lucien Goldmann dan Swingewood serta Laurenson.
Dalam periode ini muncul pula teori
dan metode intertekstual, terutama sesudah diperkenalkannya buku Michael
Riffaterre Semiontics of Poetry (1978)
oleh A. Teeuw (1983:65—72). Begitu pula masuk teori estetika resepsi yang
berasal dari Jerman Barat dengan tokoh Hans Robert Jauss dengan esainya yang
terkenal “ Literaturgeschichte als Provokation der Literaturwissenschaft”
(1967) (“Sejarah Sastra sebagai Tantangan terhadap Teori Sastra).
Di samping teori-teori tersebut,
dikenal pula teori semiontik, dekontruksi, dan yang terakhir teori kritik
sastra feminis. Jadi periode 1976—1988 merupakan masa berkembangnya teori
kritik sastra akademik. Para kritikus sastra akademik periode sebelumnya, yang
pada umumnya orientasi sastra kritiknya adalah objektif. Hanya saja, kritik
sastra akademik periode sebelumnya dapat dikatakan belum mempergunakan teori
kritik sastra yang khusus. Kritik sastra akademik sebelumnya disebut kritik
sastra ilmiah hanya karena menggunakan metode ilmiah dalam menganalisis dan
penggarapannya, seperti digunakan metode induktif dan deduktif, dengan
pengutipan pendapat-pendapat para ahli sastra untuk argumentasinya, dan
disajikan secara sistematis. Akan tetapi, kritik sastranya belum mempergunakan
teori khusus yang mempunyai sistem dan metode sendiri secara konsekuen, seperti
teori sosiologi sastra Goldmann, teori strukturalisme, teori estetika resepsi,
dan sebagainya.
Para kritikus (ahli sastra) akademik
yang memperkembangkan teori baru itu di anataranya Umar Junus, Sapardi Djoko
Damono, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, Faruk H.T., dan Bakti Sumanto.
Teori
Kritik Sastra Akademik
a. Orientasi Objektif
Kritik sastra akademik di Indonesia ditandai dengan
dipergunakannya orientasi objektif, yaitu yang memusatkan kritik sastra pada
karya sastra sendiri sebagai sesuatu yang otonom. Hal ini seperti dikemukakan
oleh M.S. Hutagalung (1975:18) bahwa pusat perhatian peneliti sastra adalah
karya sastra itu sendiri. Pengarang, latar belakang sosial budaya, dan yang
lain-lain itu penting juga untuk memahami karya sastra, tetapi jangan
sekali-kali menggeser tempat karya sastra itu sendiri. Disebutnya anggapan
demikian ini adalah ergosentris.
Dikatakannya juga aliran ini disebut strukturalisme. Akan tetapi, Hutagalung
sendiri tidak mengemukakan atau merumuskan apa aliran strukturalisme itu,
bagaimana wujud, dan bagaimana teorinya.
Sejak
tahun 1967 Saleh Saad (Ali, (1978:112) telah berbicara tentang tipe kritik
struktural dengan mengutip pendapat Chairil Anwar bahwa sajak yang bagus itu
didasarkan atas kerja sama dan perhubungan anatara beberapa “perkakas” bahasa
dengan “pokok”. Begitu pula, ia mengutip pendapat Hutagalung bahwa semua unsur
yang membina unsur sebuah sajak “saling bahu-membahu”. Dikemukakan Saleh Saad bahwa analisis itu penting untuk
mendapatkan objektifitas penelaah ilmiah. Akan tetapi, pendekatan struktural
tidak berhenti pada analisis saja, juga tidak hanya sampai pada pencatatan
bahwa sajak itu empat seuntai, mempunyai rima akhir a-b-a-b, tetapi pendekatan struktural itu senantiasa menanyakan:
untuk apa semuaitu, apa fungsi unsur-unsur tersebut dalam rangka keseluruhan (Ganzheit) sajak itu. Analisis itu
kembali memadu menjadi sintesis. Pendekatan struktural bersifang fungsional.
Tema dan amanat (“pokok” menurut Chairil Anwar) sama sekali tidak diabaikan
(dalam Ali, (1978:115—116).
Dasar
pertama kritik sastra ilmiah adalah orientasi objektif, yaitu perhatian
terpusat pada teks sastra itu sendiri. Akan tetapi, pada periode 1976—1988
timbul pula orientasi lain dalam kritik sastra ilmiah, yaitu orientasi mimetik
dengan masuknya teori sastra sosiologi sastra meskipun orientasi objektif tetap
dominan dalam kritik sastra akademik. Di samping objektivitas, fakta merupakan
faktor (aspek) penting dalam kritik ilmiah sehingga harus diingat pula bahwa
dalam kritik ilmiah eksplisitasi teori itu penting dan ditonjolkan (Budi Darma,
1983:34). Oleh karena itu, orientasi mimetik bukan halangan bagi kritik sastra
ilmiah.
b. Teori Kritik Sastra Sosiologi Sastra
Hubungan antara sastra dan masyarakat telah disadari
oleh para peneliti sastra ilmiah aliran Kritik Sastra Rawamangun. Dikemukakan
oleh Oemarjati (1962:14) bahwa dalam hubungan dengan masyarakatnya, hasil seni
(sastra) merupakan sistem norma konsep-konsep ide yang bersifat intersubjektif
dan harus diterima sebagai sesuatu yang ada dalam ideologi kolektif. Dengan
demikian, dalam membahas Atheis ia
meninjau jugaa latar belakang masyarakatnya (1962:15). Atheis menggambarkan individu kecil dalam kemahasyarakatannya, juga
Atheis merupakan potret pergulatan
masyarakat yang melingkupi si individu tadi (1962:29).
Tokoh sastra Indonesia yang pertama kali secara
nyata memperkenalkan teori (kritik) sosiologi sastra adalah Sapadi Djoko Damono
dengan bukunya Sosiologi Sastra Sebuah
Pengantar Ringkas (1978, cet. I, 1979 cet. II). Ia (1979:1) mengemukakan
hubungan antara sastra, sastrawan, dan masyarakat yang bersifat timbal balik
yang menimbulkan pertanyaan utama (pokok) dalam lingkup sosiologi sastra. Di
antara pertanyaan itu adalah (1) apakah latar belakang pengarang menentukan isi
karyanya; (2) apakah karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya; (3) apakah
karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan sendirinya bermutu
tinggi; (4) sampai berapa jauh karya sastra mencerminkan keadaan zamannya; (5)
apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya itu terhadap
penulisan karya sastra, dan sebagainya. Itulah persoalan-persoalan penting
peneliti dalam penelitian (kritik) sastra dalam hubungannya dengan masyarakat.
Istilah sosiologi sastra tidak berbeda pengertiannya
dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiostruktural
terhadap sastra. Ada dua kecenderungan pokok dalam penelitian sosiologis
terhadap karya sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa
karya sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Kedua, pendekatan
yang beranggapan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan
metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih dalam
lagi gejala sosial yang di luar sastra. Jadi, dalam dua kecenderungan telaah
sosiologi sastra yang dikemukakan Sapardi itu justru yang menjadi tujuannya
adalah penerangan gejala sosial ekonomi di luar sastra. Dalam kritik sastra
dengan teori sosiologi sastra, teks sastra menjadi sumber penelitian hal-hal di
luar karya sastra sendiri. Padahal, seharusnya penelitian karya sastra (kritik
sastra) itu adalah pemberian makna (perebutan makna) karya sastra. Kalau memang
demikian, hal-hal di luar sastra itu menggeser kedudukan karya sastra sendiri
seperti dikemukakan oleh M.S. Hutagalung di depan.
Diterangkan Sapardi (1979:3—4) bahwa dalam esainya
yang berjudul “Literature and Society” Ian Watt membicarakan hubungan timbal
balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, hubungan dengan
konteks sosial pengarang dalam masyarakatnya, yang terutama diteliti (a)
bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) profesionalisme dalam
kepengarangan, dan (c) masyarakat apa yang dituju pengarang. Kedua, sastra
sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial masyarakat melibatkan
pertanyaan-pertanyaan: sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial.
Di samping Damono, di antara kritikus akademik yang
berbicara tentang sosiologi sastra adalah Mursal Esten, Andre Hardjana, Faruk
H.T., dan Umar Junus. Mursal Esten dalam membicarakan novel-novel Indonesia
secara sosiologis berdasarkan pada hipotesisnya, sedang Andre Hardjana
(1981:70—80) berbicara tentang hubungan sastra dengan sosiologi lebih bersifat
memberikan reaksi daripada menggelarkan teori kritik sosiologi sastra.
Dalam bab II, “Novel-novel Indonesia dan Tata Nilai”
dalam bukunya Sastra Indonesia dan
Tradisi Subkultur, Mursal Esten (1982:40) mengemukakan hipotesis bahwa
latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan mempunyai
pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam novel Indonesia;
pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam strukturnya.
Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan sosial dan tata
nilai.
Faruk H.T. menggelarkan teori sosiologi sastra dalam
skripsi sarjananya yang berjudul Novel
Merahnya Merah Iwan Simatupang; Sebuah Tinjauan Secara Strukturalisme Genetik (1981);
teorinya itu juga digelarkan lagi dalam bukunya Strukturalisme Genetil dan Epistimologi Sastra (1988).
Faruk memilih (1982:7) metode strukturalisme genetik
dalam skripsinya karena alasan bahwa dengan metode itu, Golgmann telah
mengembalikankarya sastra sebagai fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak
dilepaskan dari ciri-ciri dasar prilaku manusia yang menjadi subjeknya.
Dikemukakannya juga bahwa strukturalime genetik telah menjebatani dua kutub
anggapan yang selalu bertentangan mengenai pendekatan terhadap karya sastra,
yaitu (1) pendekatan yang mengabaikan sama sekali subjek karya sastra dan (2)
pendekatan yang mengabaikan eksistensi objektif karya sastra.
Seperti yang telah dikemukakan, Umar Junus adalah
tokoh kritikus Akademik yang banyak menyerap dan menerapkan teori-teori kritik
sastra Barat yang baru. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (1986), Umar Junus
memaparkan teori sosiologi sastra yang mendasari penelaahannya terhadap novel
dan puisi Indonesia serta Malaysia.
Umar Junus menggabungkan teori sosiologi sastra yang
diuraikan oleh Alan Swingewood, R. Escarpit, Leo Lowenthal, H. Taine, G.
Plekhanov, Lucien Goldmann, J.L. Peacock, Dick Hebdige, J.S.R. Goodlad, Zima,
dan J. Duvignaud. Ia tidak menerangkan pengertian sosiologi sastra, tetapi
langsung pada persoalan dan prinsip-prinsip teori sosiologi sastra.
Berdasarkan uraiannya (hlm. 1—3), disusun rencana
pembicaraan sosiologi sastra yang berhubungan denganhal-hal: (1) karya sastra
dilihat sebagai dokumen sastra; (2) penelitian mengenai penghasilan dan
pemasaran karya sastra; (3) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap
(sebuah) karya sastra sastrawan tertentu dan apa sebabnya; (4) pengaruh
sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra; (5) pendekatan strukturalisme
genetik (genetic structuralism)
Goldmann; (6) pendekatan Duvignaud yang melihat mekanisme universal dan seni,
termasuk sastra (Junus, 1986:3).
Dengan rencana kerja seperti itu, Umar Junus
menelaah (mengritik) karya sastra Indonesia secara sosiologi sastra dan sebuah
novel Malaysia Srengenge Shahnon
Ahmad dianalisis sebagai salah satu lampiran contoh (sic!). dengan melihat rencana kerja Umar Junus itu, tampak
bahwa pembicaraan hal-hal di luar karya
sastra lebih banyak daripada pembicaraan karya sastranya sendiri. Semua itu
memang sudah “konsekuensi” pembicaraan (kritik) sastra secara sosiologis. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya Jassin, kritikus yang lebih mengutamakan
penghayatan sastra dan mementingkan struktur intrinsik karya sastra, yang
“kurang mengerti” kritik sastra sosiologis, menjadi kecewa dalam esainya yang berjudul “Satu Disertasi yang Pseudo
Ilmiah” (1985, hlm. 305—309) yang merupakan penilaiannya terhadap disertasi
Umar Junus itu.
The Real Money Casino - DrMCD
BalasHapusFrom the best and latest news 오산 출장안마 on the Vegas 군산 출장안마 strip to the 나주 출장안마 latest casino promotions and new game offerings, all you need is a great 평택 출장마사지 casino. We also offer a variety of 충주 출장샵