Kamis, 04 Oktober 2012

Teori Kritik Sastra Akademik Periode 1976-1988



            Pada periode ini banyak terbitan buku kritik sastra berupa kumpulan esai, di samping juga penelitian-penelitian sastra ilmiah, baik dari para krtitikus sastrawan maupun kritikus-kritikus akademik. Periode ini ditandai pula dengan banyaknya teori sastra dan kritik sastra dari barat.
            Pada awal tahun 1970-an telah dikenal nama kritik sastra struktural (Hutagalung 1975:18), bahkan juga akhir tahun 1960-an telah dikenal nama krtik sastra struktural itu (Saleh Saad, 1967:115—116). Akan tetapi, secara nyata teori teori struktural itu baru dikenal di Indonesia pada paro kedua tahun 1970-an, terutama diperkenalkan oleh Umar Junus dan A. Teeuw (1983:61). Lebih-lebih setelah diperkenalkan buku J. Culler Structuralist Poetics (1975) dan buku Fokkema Theories of Literature in the Twentieth Century (1977).
            Di smaping itu, pada pertengahan tahun 1970-an mulai dikenal teori sosiologi sastra dalam kritik sastra Indonesia modern.  Teori dan metode sosiologi sastra ini diperkenalkan oleh Sapardi Djoko Damono dan Umar Junus. Teori sosiologi sastra muncul berhubungan dengan diperkenalkannya teori sastra Lucien Goldmann dan Swingewood serta Laurenson.

            Dalam periode ini muncul pula teori dan metode intertekstual, terutama sesudah diperkenalkannya buku Michael Riffaterre Semiontics of Poetry (1978) oleh A. Teeuw (1983:65—72). Begitu pula masuk teori estetika resepsi yang berasal dari Jerman Barat dengan tokoh Hans Robert Jauss dengan esainya yang terkenal “ Literaturgeschichte als Provokation der Literaturwissenschaft” (1967) (“Sejarah Sastra sebagai Tantangan terhadap Teori Sastra).
            Di samping teori-teori tersebut, dikenal pula teori semiontik, dekontruksi, dan yang terakhir teori kritik sastra feminis. Jadi periode 1976—1988 merupakan masa berkembangnya teori kritik sastra akademik. Para kritikus sastra akademik periode sebelumnya, yang pada umumnya orientasi sastra kritiknya adalah objektif. Hanya saja, kritik sastra akademik periode sebelumnya dapat dikatakan belum mempergunakan teori kritik sastra yang khusus. Kritik sastra akademik sebelumnya disebut kritik sastra ilmiah hanya karena menggunakan metode ilmiah dalam menganalisis dan penggarapannya, seperti digunakan metode induktif dan deduktif, dengan pengutipan pendapat-pendapat para ahli sastra untuk argumentasinya, dan disajikan secara sistematis. Akan tetapi, kritik sastranya belum mempergunakan teori khusus yang mempunyai sistem dan metode sendiri secara konsekuen, seperti teori sosiologi sastra Goldmann, teori strukturalisme, teori estetika resepsi, dan sebagainya.
            Para kritikus (ahli sastra) akademik yang memperkembangkan teori baru itu di anataranya Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Rachmat Djoko Pradopo, Faruk H.T., dan Bakti Sumanto.

Teori Kritik Sastra Akademik
a.       Orientasi Objektif
Kritik sastra akademik di Indonesia ditandai dengan dipergunakannya orientasi objektif, yaitu yang memusatkan kritik sastra pada karya sastra sendiri sebagai sesuatu yang otonom. Hal ini seperti dikemukakan oleh M.S. Hutagalung (1975:18) bahwa pusat perhatian peneliti sastra adalah karya sastra itu sendiri. Pengarang, latar belakang sosial budaya, dan yang lain-lain itu penting juga untuk memahami karya sastra, tetapi jangan sekali-kali menggeser tempat karya sastra itu sendiri. Disebutnya anggapan demikian ini adalah ergosentris. Dikatakannya juga aliran ini disebut strukturalisme. Akan tetapi, Hutagalung sendiri tidak mengemukakan atau merumuskan apa aliran strukturalisme itu, bagaimana wujud, dan bagaimana teorinya.
Sejak tahun 1967 Saleh Saad (Ali, (1978:112) telah berbicara tentang tipe kritik struktural dengan mengutip pendapat Chairil Anwar bahwa sajak yang bagus itu didasarkan atas kerja sama dan perhubungan anatara beberapa “perkakas” bahasa dengan “pokok”. Begitu pula, ia mengutip pendapat Hutagalung bahwa semua unsur yang membina unsur sebuah sajak “saling bahu-membahu”. Dikemukakan  Saleh Saad bahwa analisis itu penting untuk mendapatkan objektifitas penelaah ilmiah. Akan tetapi, pendekatan struktural tidak berhenti pada analisis saja, juga tidak hanya sampai pada pencatatan bahwa sajak itu empat seuntai, mempunyai rima akhir a-b-a-b, tetapi pendekatan struktural itu senantiasa menanyakan: untuk apa semuaitu, apa fungsi unsur-unsur tersebut dalam rangka keseluruhan (Ganzheit) sajak itu. Analisis itu kembali memadu menjadi sintesis. Pendekatan struktural bersifang fungsional. Tema dan amanat (“pokok” menurut Chairil Anwar) sama sekali tidak diabaikan (dalam Ali, (1978:115—116).
Dasar pertama kritik sastra ilmiah adalah orientasi objektif, yaitu perhatian terpusat pada teks sastra itu sendiri. Akan tetapi, pada periode 1976—1988 timbul pula orientasi lain dalam kritik sastra ilmiah, yaitu orientasi mimetik dengan masuknya teori sastra sosiologi sastra meskipun orientasi objektif tetap dominan dalam kritik sastra akademik. Di samping objektivitas, fakta merupakan faktor (aspek) penting dalam kritik ilmiah sehingga harus diingat pula bahwa dalam kritik ilmiah eksplisitasi teori itu penting dan ditonjolkan (Budi Darma, 1983:34). Oleh karena itu, orientasi mimetik bukan halangan bagi kritik sastra ilmiah.

b.      Teori Kritik Sastra Sosiologi Sastra
Hubungan antara sastra dan masyarakat telah disadari oleh para peneliti sastra ilmiah aliran Kritik Sastra Rawamangun. Dikemukakan oleh Oemarjati (1962:14) bahwa dalam hubungan dengan masyarakatnya, hasil seni (sastra) merupakan sistem norma konsep-konsep ide yang bersifat intersubjektif dan harus diterima sebagai sesuatu yang ada dalam ideologi kolektif. Dengan demikian, dalam membahas Atheis ia meninjau jugaa latar belakang masyarakatnya (1962:15). Atheis menggambarkan individu kecil dalam kemahasyarakatannya, juga Atheis merupakan potret pergulatan masyarakat yang melingkupi si individu tadi (1962:29).
Tokoh sastra Indonesia yang pertama kali secara nyata memperkenalkan teori (kritik) sosiologi sastra adalah Sapadi Djoko Damono dengan bukunya Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas (1978, cet. I, 1979 cet. II). Ia (1979:1) mengemukakan hubungan antara sastra, sastrawan, dan masyarakat yang bersifat timbal balik yang menimbulkan pertanyaan utama (pokok) dalam lingkup sosiologi sastra. Di antara pertanyaan itu adalah (1) apakah latar belakang pengarang menentukan isi karyanya; (2) apakah karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya; (3) apakah karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan sendirinya bermutu tinggi; (4) sampai berapa jauh karya sastra mencerminkan keadaan zamannya; (5) apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya itu terhadap penulisan karya sastra, dan sebagainya. Itulah persoalan-persoalan penting peneliti dalam penelitian (kritik) sastra dalam hubungannya dengan masyarakat.
Istilah sosiologi sastra tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiostruktural terhadap sastra. Ada dua kecenderungan pokok dalam penelitian sosiologis terhadap karya sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Kedua, pendekatan yang beranggapan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Jadi, dalam dua kecenderungan telaah sosiologi sastra yang dikemukakan Sapardi itu justru yang menjadi tujuannya adalah penerangan gejala sosial ekonomi di luar sastra. Dalam kritik sastra dengan teori sosiologi sastra, teks sastra menjadi sumber penelitian hal-hal di luar karya sastra sendiri. Padahal, seharusnya penelitian karya sastra (kritik sastra) itu adalah pemberian makna (perebutan makna) karya sastra. Kalau memang demikian, hal-hal di luar sastra itu menggeser kedudukan karya sastra sendiri seperti dikemukakan oleh M.S. Hutagalung di depan.
Diterangkan Sapardi (1979:3—4) bahwa dalam esainya yang berjudul “Literature and Society” Ian Watt membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, hubungan dengan konteks sosial pengarang dalam masyarakatnya, yang terutama diteliti (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) profesionalisme dalam kepengarangan, dan (c) masyarakat apa yang dituju pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial masyarakat melibatkan pertanyaan-pertanyaan: sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.
Di samping Damono, di antara kritikus akademik yang berbicara tentang sosiologi sastra adalah Mursal Esten, Andre Hardjana, Faruk H.T., dan Umar Junus. Mursal Esten dalam membicarakan novel-novel Indonesia secara sosiologis berdasarkan pada hipotesisnya, sedang Andre Hardjana (1981:70—80) berbicara tentang hubungan sastra dengan sosiologi lebih bersifat memberikan reaksi daripada menggelarkan teori kritik sosiologi sastra.
Dalam bab II, “Novel-novel Indonesia dan Tata Nilai” dalam bukunya Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, Mursal Esten (1982:40) mengemukakan hipotesis bahwa latar belakang sejarah dan zaman serta latar belakang kemasyarakatan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penciptaan, begitu juga dalam novel Indonesia; pengaruhnya tidak hanya dalam tema-tema, tetapi juga dalam strukturnya. Novel-novel Indonesia merupakan gambaran suatu proses perubahan sosial dan tata nilai.
Faruk H.T. menggelarkan teori sosiologi sastra dalam skripsi sarjananya yang berjudul Novel Merahnya Merah Iwan Simatupang; Sebuah Tinjauan Secara Strukturalisme Genetik (1981); teorinya itu juga digelarkan lagi dalam bukunya Strukturalisme Genetil dan Epistimologi Sastra (1988).
Faruk memilih (1982:7) metode strukturalisme genetik dalam skripsinya karena alasan bahwa dengan metode itu, Golgmann telah mengembalikankarya sastra sebagai fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dilepaskan dari ciri-ciri dasar prilaku manusia yang menjadi subjeknya. Dikemukakannya juga bahwa strukturalime genetik telah menjebatani dua kutub anggapan yang selalu bertentangan mengenai pendekatan terhadap karya sastra, yaitu (1) pendekatan yang mengabaikan sama sekali subjek karya sastra dan (2) pendekatan yang mengabaikan eksistensi objektif karya sastra.
Seperti yang telah dikemukakan, Umar Junus adalah tokoh kritikus Akademik yang banyak menyerap dan menerapkan teori-teori kritik sastra Barat yang baru. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (1986), Umar Junus memaparkan teori sosiologi sastra yang mendasari penelaahannya terhadap novel dan puisi Indonesia serta Malaysia.
Umar Junus menggabungkan teori sosiologi sastra yang diuraikan oleh Alan Swingewood, R. Escarpit, Leo Lowenthal, H. Taine, G. Plekhanov, Lucien Goldmann, J.L. Peacock, Dick Hebdige, J.S.R. Goodlad, Zima, dan J. Duvignaud. Ia tidak menerangkan pengertian sosiologi sastra, tetapi langsung pada persoalan dan prinsip-prinsip teori sosiologi sastra.
Berdasarkan uraiannya (hlm. 1—3), disusun rencana pembicaraan sosiologi sastra yang berhubungan denganhal-hal: (1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sastra; (2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; (3) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap (sebuah) karya sastra sastrawan tertentu dan apa sebabnya; (4) pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra; (5) pendekatan strukturalisme genetik (genetic structuralism) Goldmann; (6) pendekatan Duvignaud yang melihat mekanisme universal dan seni, termasuk sastra (Junus, 1986:3).
Dengan rencana kerja seperti itu, Umar Junus menelaah (mengritik) karya sastra Indonesia secara sosiologi sastra dan sebuah novel Malaysia Srengenge Shahnon Ahmad dianalisis sebagai salah satu lampiran contoh (sic!). dengan melihat rencana kerja Umar Junus itu, tampak bahwa  pembicaraan hal-hal di luar karya sastra lebih banyak daripada pembicaraan karya sastranya sendiri. Semua itu memang sudah “konsekuensi” pembicaraan (kritik) sastra secara sosiologis. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Jassin, kritikus yang lebih mengutamakan penghayatan sastra dan mementingkan struktur intrinsik karya sastra, yang “kurang mengerti” kritik sastra sosiologis, menjadi kecewa dalam esainya yang berjudul “Satu Disertasi yang Pseudo Ilmiah” (1985, hlm. 305—309) yang merupakan penilaiannya terhadap disertasi Umar Junus itu.

1 komentar:

  1. The Real Money Casino - DrMCD
    From the best and latest news 오산 출장안마 on the Vegas 군산 출장안마 strip to the 나주 출장안마 latest casino promotions and new game offerings, all you need is a great 평택 출장마사지 casino. We also offer a variety of 충주 출장샵

    BalasHapus