Rabu, 21 September 2011

Semantik dalam Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Ruang lingkup pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia saat ini mempunyai daya tarik yang tinggi untuk ditelaah. Berbagai aspek bisa dijadikan objek penilitian. Mulai dari materi yang diajarakan atau dari satandar kompetensi hingga kurikulum pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Data yang ada bisa ditelaah dari berbagai disiplin ilmu. Semantik sebagai disiplin ilmu yang menpelajari makna, akan menjelaskan bagaimana kesesuaian istilah yang digunakan dengan makna yang dimaksudkan. Salah satu hubungan semantik yang akan dibahas dalam pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah keselarasan makna dalam kompetensi dasar. Hubungan semantik berkaitan erat dengan analisis subjek dan penentuan istilah dalam penyususnan kompetensi dasar.

Sebagai tenaga pendidik tentunya diawajibkan mempunyai pemahaman yang tinggi untuk menelaah setiap unsure kompetensi dasar. Hal ini dimaksudkan agar pencapaian siswa sesuai dengan tujuan yang terdapat pada setiap kompentensi dasar. Dewasa ini masih banyak tenaga pendidik yang melakukan kesalahan mendasar yaitu tidak mampu menafsirkan setiap istilah yang ada pada kompetensi dasar. Hal ini berakibat pada penentuan indicator, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan berujung pada kesalahan pemilihan materi pembelajaran yang disampaikan kepada siswa.

Semantic mempunyai kewajiban untuk memberi makna agar setiap orang yang membaca kompetensi dasar tersebut mudah memahami serta dapat diterima secara logis. Makna. Bila menjelaskan apa sesungguhnya mengenai ‘makna’, butuh keselarasan pikiran untuk menyamakan persepsi. Dalam buah pikiran kita mempunyai gambaran yang sama mengenai ‘makna’. Tetapi, pada umumnya, bila dijnyatakan dengan ujaran atau pun tulisan, akan mempunyai persepsi berbeda mengenai apa itu makna.

Kajian semantik meliputi studi tentang bagaimana makna dibangun, diinterpretasikan, diklarifikasi, ilustrasi, dinegosiasikan sehingga bisa berterima. Makna bahasa, khususnya makna kata, terpengaruh oleh berbagai konteks. Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di luar bahasa. Dalam konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama pada benda-benda atau objek-objek yang berada di alam semesta. Makna kata juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau pembentukan konsepsi yang terjadi dalam pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya berkait dengan pengetahuan atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap sesuatu yang hendak dicapai. Makna kata juga dapat dibentuk oleh kaitan antara stimulus, kata dengan respons yang terjadi dalam suatu peristiwa ujaran. Beranjak dari konsepsi ini maka kajian semantik pada dasarnya sangat bergantung pada dua kecenderungan. Pertama, makna bahasa dipengaruhi oleh konteks di luar bahasa, benda, objek dan peristiwa yang ada di alam semesta. Kedua, kajian makna bahasa ditentukan oleh konteks bahasa, yakni oleh aturan kebahasaan suatu bahasa. Uraian di atas menunjukkan bahwa beberapa konsep dasar dalam semantik penting untuk dipahami.

Daftar Pustaka
http://duniaperpustakaan.com/2011/01/26/kajian-hubungan-semantik-dalam-ilmu-perpustakaan-dan-informasi/ 
Leech, Geoffrey. 1997. Semantik. Surakarta. Penerbit UNS Press.

Senin, 19 September 2011

Makna dari Makna

Makna. Bila menjelaskan apa sesungguhnya mengenai ‘makna’, butuh keselarasan pikiran untuk menyamakan persepsi. Dalam buah pikiran kita mempunyai gambaran yang sama mengenai ‘makna’. Tetapi, pada umumnya, bila dijnyatakan dengan ujaran atau pun tulisan, kita akan mempunyai persepsi berbeda mengenai apa itu makna. 

Perdebatan mengenai makna kata ‘meaning’ yang sesuai verba ‘mean’ dalam bahasa Inggris masih saja menemui titik masalah. Para ahli masih mempunyai banyak pilihan untuk menjelaskan ‘makna’. Diantaranya seperti: suatu sifat intrinsik, kata-kata lain yang dihubungkan dengan sebuah makna kata di dalam kamus, konotasi suatu kata, tempat sesuatu di dalam system, akibat praktis dari suatu hal di dalam pengalaman untuk masa depan, dan lain sebagainya. Kita masih diliputi pertanyaan yang membuat merenung bila suatu tanda dilisankan maupun dituliskan. Lalu ‘meaning’ mana yang digunakan untuk memaknai tanda tersebut. 

Inilah kekompleksan makna dalam bahasa yang sistematis. Komponen bahasa yang meliputi fona, silaba, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana mempunyai tanda dan makna sesuai dengan kapasitas masing-masing. Makna yang berupa tanda terdapat dengan jelas pada tataran kata hingga yang paling kompleks pada wacana. Wacana muncul dalam konteks yang semua elemen bahasa tercakup dalam wacana. Di dalam suatu wacanapun terkadang kita masih memilah-milah mana bagian yang ber-‘makna’ dan tidak ber-‘makna’. 

Beruntunglah dalam bahasa Indonesia mempunyai pernyataan ‘makna’ yang lebih khusus. ‘Makna’ bila diacukan atas definisi-definisi secara ilmu kebahasaan disebut dengan ‘arti’. Seperti contoh berikut: aku adalah bentuk orang pertama tunggal. Inilah yang disebut ‘arti’. Sedangkan ‘makna’ bila diacukan kepada pernyataan-pernyataan tertentu yang tersirat secara langsung maupun tidak langsung dan terdapat unsur suprasegmental disebut dengan ‘maksud’. Ketika kita menjumpai atau mendengar kata “keluar!” memilik pernyataan kita harus meninggalkan suatu tempat karena alas an tertentu, inilah yang disebut dengan ‘maksud’. Dan makna terdapat ditengah-tengah antara ‘arti’ dan ‘maksud’. 

Lalu apa tanda yang mampu menjelaskan tentang ‘makna’? Disinilah semantik berperan sebagai suatu disiplin ilmu. Semantik sebagai studi tentang makna merupakan masalah pokok dalam komunikasi. Semantik juga merupakan pusat studi tentang pikiran manusia, yaitu proses berfikir, kognisi, dan konseptual, yang saling berkaitan dengan cara kita mengklarifikasikan dan mengemukakan pengalaman kita tentang dunia nyata ini melalui bahasa. 

Berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Bila disiplin ilmu lain untuk menjelaskan suatu tanda maka batasan-batasan dalam mendefinisikan tanda tersebut hanya sebatas disiplin ilmu itu sendiri. Dan semantik mempunyai ‘makna’ yang mampu, bukan hanya, mendefinisikan tetapi juga menjelaskan dengan pernyataan yang logis. 

Sejalan dengan cara berfikir ilmiah bahwa penelitian yang menarik hasil sesuatu dianggap sebagai menguatkan atau melemahkan hipotesis dan bukannya untuk menemukan fakta tentang makna. Jika dianggap sebagai ketentuan penemuan, akan terjadi kegagalan karena penelitian tidak dapat membedakan akibat ‘semantik’ dengan akibat ‘faktual’, dan sebagainya. Tetapi ditinjau dari pengujian hipitesa, suatu penelitian tidak memerlukan ahli linguistik maupun informan untuk membuat perbedaan. Kategori factual hanya didefinisakn sebagai seperangkat observasi dan ahli linguistik tidak tertarik tentang apa yang ditemukan. 

Ada dua pendekatan makna yang dapat digambarkan disini. Pertama kaum mentalis beragam di dalam tingkat realitas psikologisnya yang ada pada mereka terhadap aturan kompetensi yang sudah dipostulasikan, dan pada tingkat akhir, hal ini tergantung tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh ahli semantik itu terhadap analisisnya sendiri, yang pada gilirannya harus menggantukan diri pada seberapa jauh telah mendapatkan tujuan ilmiah eksplisitnya, lengkapnya, sederhananya, dan kesesuaian dengan data. 

Pendekatan kedua yaitu pandangan kaum kontekstualistis. Mereka tidak berkehendak untuk menerima keseluruhan yang abstrak, yang masih hanya gambaran tidak jelas, yang tidak ada aksesnya pada tes operasional, maka kaum ‘neomentalis’ mengambil pendirian yang agak lunak terhadap kebenaran ilmiah, dengan menganggap teori yang abstrak mengenai kompetensi semantic dapat diterima.