Selasa, 29 Juni 2010

RAHWANA


Dalam mitologi hindu, Rahwana (deyanagri : रावण, IAST Rāvaṇa; kadangkala dialihaksarakan sebagai Raavana dan Ravan atau Revana) adalah tokoh utama yang bertentangan terhadap Rama dalam sastra hindu, Ramayana. Dalam kisah, ia merupakan Raja Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang lalu.

Rawana dilukiskan dalam kesenian dengan sepuluh kepala, menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan sastra. Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama "Dasamukha" (दशमुख, bermuka sepuluh), "Dasagriva" (दशग्रीव, berleher sepuluh) dan "Dasakanta" (दशकण्ठ, berkerongkongan sepuluh). Ia juga memiliki dua puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar.

Ibu Rahwana bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali. Sumali memperoleh anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di antara para resi, Kekasi memilih Wisrawa sebagai pasangannya. Wisrawa memperingati Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian. Akhirnya, Rahwana lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah rakshasa. Saat lahir, Rahwana diberi nama "Dasanana" atau "Dasagriwa", dan konon ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rahwana memiliki kekuatan sepuluh tokoh tertentu.Saat masih muda, Rahwana mengadakan tapa memuja Dewa Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, brahma muncul dan mempersilakan Rahwana mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rahwana memohon agar ia hidup abadi, namun permohonan tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai gantinya, Rahwana memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, rakshasa, detya, danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.

Setelah memperoleh anugerah Brahma, Rahwana mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan. Kubera juga merupakan putera Wisrawa, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anak-anak Kekasi. Namun Rahwana menuntut agar seluruh Alengka menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Wisrawa menasihati Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rahwana tak tertandingi.

Ketika Rahwana merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses dan murah hati. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya. Konon rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di kerajaan tersebut.

Setelah keberhasilannya di Alengka, Rahwana mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari, Rahwana mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya sambil main-main. Siwa yang merasa kesal dengan kesombongan Rahwana, menekan Kailasha dengan jari kakinya, sehingga Rahwana tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rahwana, pada siapa ia harus bertobat. Lalu Rahwana menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rahwana menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rahwana terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama "Shiva Tandava Stotra". Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama 'Rahwana', berarti "(Ia) Yang raungannya dahsyat", diberikan kepadanya oleh Siwa – konon bumi sempat berguncang saat Rahwana menangis kesakitan karena ditindih gunung.

Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rahwana melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat ( asura – rakshasa – detya – denawa) dan makhluk surgawi. Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rahwana sendiri menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka. Setelah menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rahwana yang kejam dan tamak, Rahwana mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi, dan bangsa naga.
Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rahwana juga terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rahwana memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putera Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema. Ramayana mendeskripsikan bahwa istana Rahwana dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dalam Ramayana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua wanita merasa beruntung apabila Rahwana menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah pertemuan Rahwana dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Wedawati seorang pertapa wanita. Wedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rahwana melihat kecantikan Wedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Wedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia merayu Wedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena Wedawati menolak, Rahwana mencoba untuk melarikannya. Kemudian Wedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rahwana. Setelah berkata demikian, Wedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya. Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sita.

Setelah pos jaga para raksasa di Yanasthana dihancurkan oleh Rama dan Laksmana, berita tersebut disampaikan kepada Rahwana. Menteri Rahwana yang bernama Akampana menyarankan agar Rahwana mau menculik Sita, namun niat tersebut ditolak oleh Marica. Setelah adik perempuan Rahwana yang bernama Suparnaka mengadu bahwa dua orang kesatria telah melukainya, Rahwana marah besar. Ia segera menuju ke kediaman Marica untuk meminta bantuan, tanpa mempedulikan nasihat baik dari Marica. Setelah rencana disusun, Marica menyamar menjadi kijang kencana untuk mengalihkan perhatian Rama, sedangkan Rahwana menyamar menjadi seorang brahmana tua yang lemah. Ketika Rama dan Laksmana berada jauh, Rahwana segera menjangkau Sita, dan setelah itu Sita dibawa kabur. Sita disekap di taman Asoka, letaknya di dalam lingkungan istana Rahwana di kerajaan Alengka. Di sana, Rahwana berkali-kali mencoba merayu Sita namun tidak pernah berhasil.
Tindakan Rahwana mengundang kemarahan Rama. Dengan bantuan dari raja wanara bernama Sugriwa, Rama menggempur Alengka. Untuk mengantisipasi serangan Rama, Rahwana mengirimkan pasukan terbaiknya yang dipimpin oleh raksasa-raksasa kuat. Serangan pertama dilakukan oleh Hanoman pada saat ia datang ke Alengka sebagai mata-mata untuk menemui Sita. Dalam pertempuran tersebut, putera Rahwana yang bernama Aksayakumara gugur. Dalam pertempuran selanjutnya, para menteri dan kerabat Rahwana gugur satu persatu, termasuk Indrajit putera Rahwana dan Kumbakarna adik Rahwana.
Pada hari pertempuran terakhir, Rahwana maju ke medan perang sendirian dengan menaiki kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda terpilih. Ketika ia keluar dari Alengka, langit menjadi gelap oleh gerhana matahari yang tak terduga. Beberapa orang berkata bahwa itu merupakan pertanda buruk bagi Rahwana yang tidak menghiraukannya sama sekali. Pertempuran terakhir antara Rama dengan Rahwana berlangsung dengan sengit. Pada pertempuran itu, Rama menaiki kereta Indra dari sorga, yang dikemudikan oleh Matali. Setiap Rama mengirimkan senjatanya untuk menghancurkan Rahwana, raksasa tersebut selalu dapat bangkit kembali sehingga membuat Rama kewalahan. Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata Brahmastra yang tidak biasa. Senjata tersebut menembus dada Rahwana dan merenggut nyawanya seketika.

Salah satu versi Ramayana menceritakan bahwa Rahwana tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan sekalipun, sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pancasona. Untuk mengakhiri riwayat Rahwana, Rama menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara bernama Kyai Dangu. Senjata tersebut mengikuti kemana pun Rahwana pergi untuk menyayat kulitnya. Setelah Rahwana tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia memutuskan untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar. Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan kedua gunung itu menghimpit badan Rahwana sehingga raja raksasa itu tidak berkutik. Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala dari Sondara dan Sondari, yaitu putera kembar Rahwana yang dibunuh untuk mengelabui Sita. Versi ini ditampilkan oleh R. A. Kosasih dalam komik Ramayana karyanya.

Kamis, 10 Juni 2010

Sekilas tentang sejarah sastra Indonesia

ePeriodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain.

1. Zaman Sastra Melayu Lama

Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain.

2. Zaman Peralihan

Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.

3. Zaman Sastra Indonesia

a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)

Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik sentimental.

Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk)

b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)

Cirinya adalah 1) bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, 2) temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya, 3) bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, 4) pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda, 5)aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan 6) setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.

Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).

c. Angkatan ’45

Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.

Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera)

d. Angkatan ’66

Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.

Tokohnya adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).

Jenis Karya Sastra Indonesia

Karya Sastra Bentuk Prosa

Karangan prosa ialah karangan yang bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada dasarnya karya bentuk prosa ada dua macam, yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya sastra yang bersifat bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan karya sastra yang kreatif imajinatif, sedangkan karya sastra yang bukan astra ialah karya sastra yang nonimajinatif.

Macam Karya Sastra Bentuk Prosa

Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.

Perbedaan prosa lama dan prosa baru menurut Dr. J. S. Badudu adalah:

Prosa lama:

1. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.

2. Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).

3. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.

4. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.

5. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)

6. Milik bersama

Prosa Baru:

1. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat)

2. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari)

3. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan

4. Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan Barat

5. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas

6. Tertulis

1. Prosa lama

Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.

Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:

a. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul

b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang

c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil

d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.

e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.

f. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam

2. Prosa Baru

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.

Berdasarkan isi atau sifatnya prosa baru dapat digolongkan menjadi:

1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam

2. Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau Ki hajar Dewantara.

3. Otobiografi adalah karya yang berisi daftar riwayat diri sendiri.

4. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi

5. Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.

6. Cerpen adalah suatu karangan prosa yang berisi sebuah peristiwa kehidupan manusia, pelaku, tokoh dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya dengan Perahu Bugis karangan Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan Idrus.

7. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.

8. Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yangs ifatnya objektif dan menghakimi.

9. Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.

10. Esei adalah ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.

A. Puisi

Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah

a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara

b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca

c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi

d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur

e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris

f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi

g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api, dll.)

h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan

i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

a. puisi lama

Ciri puisi lama:

1. merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya

2. disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan

3. sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima

Yang termausk puisi lama adalah

1. mantra adalah ucapan-ucapan yangd ianggap memiliki kekuatan gaib

2. pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka

3. karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek

4. seloka adlah pantun berkait

5. gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat

6. syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita

7. talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris

b. puisi baru

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.Menurut isinya, puisi dibedakan atas

1. balada adalah puisi berisi kisah/cerita

2. himne adAlah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan

3. ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang ebrjasa

4. epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup

5. romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih

6. elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan

7. satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik

Membaca Puisi

Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:

1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,

2. pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll.,

3. pemahaman puisi yang utuh,

4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal

5. tempat acara: indoor atau outdoor,

6. audien,

7. kualitas komunikasi,

8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)

9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan tempo)

10. kesesuaian gerak,

11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:

a) pemilihan kostum yang tepat,

b) penggunaan properti yang efektif dan efisien,

c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,

d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi

B. Drama/Film

Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).

Semantik

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).

Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya.

Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59).

Sintaksis

Sintaksis merupakan tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.
Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat
Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat. Kalimat merupakan satuan atau deretan kata-kata yang memiliki intonasi tertentu sebagai pemarkah keseluruhannya dan secara ortografi biasanya diakhiri tanda titik atau tanda akhir lain yang sesuai.

Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Di sisi lain, frasa juga diartikan sebagai kelompok kata yang merupakan bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang.
Perhatikakan kalimat di bawah ini!
{Secara {lebih mendalam}} kita{akan membahas} {kemampuan {menilai {{restasi belajar} siswa}}} {untuk {kepentingan { pengajaran {yang lebih baik}}}.
Seperti telah dijelaskan bahwa frasa adalah bagian fungsional. Kualifikasi fungsional menyatakan bahwa bagian itu berfungsi sebagi konstituen di dalam konstituen yang lebih panjang, misalnya kemampuan menilai prestasi belajar siswa berfungsi sebagai objek pada verba membahas. Sebaliknya urutan mendalam kita dan pengajaran yang bukanlah frasa karena bukan merupakan bagian fungsional dari konstituen yang lebih panjang.

Morfologi

Morfologi atau tata bentuk (Ingg. morphology; ada pula yang menyebutnya morphemics) adalah bidang linguistic yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1984 : 52). Dengan perkataan lain, morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, dan klasifikasi kata-kata. Dalam linguistik bahasa Arab, morfologi ini disebut tasrif, yaitu perubahan suatu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentuk untuk mendapatkan makna yang berbeda (baru). Tanpa perubahan bentuk ini, maka yang berbeda tidak akan terbentuk (Alwasilah, 1983 : 101).

Untuk memperjelas pengertian di atas, perhatikanlah contoh-contoh berikut dari segi struktur atau unsur-unsur yang membentuknya,

a.

makan

makanan

dimakan

termakan

makan-makan

dimakankan

rumah makan

b.

main

mainan

bermain

main-main

bermain-main

permainan

memainkan

Contoh-contoh yang terpampang di atas, semuanya disebut kata. Namun demikian, struktur kata-kata tersebut berbeda-beda. Kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna. Kata makanan, dimakan, dan termakan masing-masing terdiri atas dua bentuk bermakna yaitu –an, di-, ter- dengan makan. Kata makan-makan terdiri atas dua bentuk bermakna makan dan makan. Rumah makan pun terdiri atas dua bentuk bermakan rumah dan makan. Kata main, sama dengan kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna, sedangkan kata mainan, bermain, main-mainan, permainan, memainkan masing-masing terdiri atas dua buah bentuk bermakna yakni –an, ber-, main, per-an, me-kan dengan main. Kata bermain-main terdiri atas tiga bentuk bermakna ber-, main, dan main.

Berdasarkan contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk tersebut dapat berubah karena terjadi suatu proses. Kata makan dapat berubah menjadi makanan, dimakan, termakan karena masing-masing adanya penambahan –an, di-, dan ter-, dapat pula menjadi makan-makan karena adanya pengulangan, dapat pula menjadi rumah makan karena penggabungan dengan rumah. Perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata. Kata makan termasuk jenis atau golongan kata kerja sedangkan makanan termasuk jenis atau golongan kata benda. Dari segi makna kata makan maknanya ‘memasukan sesuatu melalui mulut’, sedangkan makanan maknanya ‘semua benda yang dapat dimakan’.

Seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti atau makna kata seperti contoh di atas itulah yang dipelajari oleh bidang morfologi (Ramlan, 1983 : 3). Prawirasumantri (1985 : 107) lebih tegas merinci bidang yang dibahas oleh morfologi yakni : (1) morfem-morfem yang terdapat dalam sebuah bahasa, (2) proses pembentukan kata, (3) fungsi proses pembentukan kata, (4) makna proses pembentukan kata, dan (5) penjenisan kata.

Fonologi

Fonologi adalah subdisiplin ilmu linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum, baik bunyi bahasa yang memperdulikan arti (fonetik) maupun tidak (fonemik). Setiap penutur mempunyai kesadaran fonologis terhadap bunyi – bunyi dalam bahasanya. Penutur Bahasa Indonesia melafalkan secara tidak sama bunyi [r] dalam kata krupuk dan gratis. [r] pada kata pertama tak bersuara sedangkan pada kata kedua bersuara. Demikian pula halnya dengan dua macam [l] dalam kata bahasa inggris staple dan table ; atau dalam kata bahasa perancis peuple ‘rakyat’ dan lutte ‘perjuangan’. Meskipun demikian, para penutur ketiga bahasa tersebut menyadari bahwa kedua macam bunyi itu mewakili realitas yang sama dan fungsi yang sama pula. Hal ini disebut intuisi fonologis.
Intuisi fonologis sudah teridentifikasi sejak dahulu. Robins dalam Suryo Baskoro menggambarkan bahwa pada sebuah teks bahasa islandia abad keduabelas, V panjang dibedakan dengan yang pendek, demikian pula dibedakan antara K panjang dengan K pendek. Kasus ini menunjukan adanya masalah pada penyesuaian sistem ortografi ke dalam sistem fonologi. Keterhubungan antara realitas fonologis dan simbol grafis antara fonem dan grafem membuat ortografi diperlukan dalam penerapan analisis fonologi.

Rabu, 09 Juni 2010

Perkembangan Filsafat Bahasa

Pada uraian singkat kali ini akan coba dibabagkan perkembangan filsafat bahasa. Hanya saja pembabagan ini tidak diawali dari kelahiran filsafat bahasa, namun jauh dari awal bahasa itu dipergunakan manusia.
A. MASA YUNANI KUNO
1. Pra-Socrates
Pada masa Pra-Socrates muncul pendapat yang memperdebatkan bahasa itu bersifat konvensional (nomos) atau alamiah (fisei). Fisei menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah yang artinya mempunyai asal usul atau tidak dapat ditolak keberadaannya untuk mencapai makna secara alamiah. Sedangkan nomos menyatakan bahwa bahasa bersifat konfeksi yang artinya makna bahasa diperoleh melalui tradisi – tradisi yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman
2. Kaum sofis dan Socrates
Kaum sofis mengartikan hakikat bahasa dengan menghubungkan filsafat manusia. Karena manusia adalah sumber dari segala – galanya. Mereka menemukan pendekatan baru untuk mencari hakikat bahasa terutama bahasa manusia. Sehingga mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru yaitu Retorika. Kaum sofis ini dapat membedakan kalimat menjadi tujuh tipe karena mendalami retorika tadi. Tetapi dengan menggunakan retorika, pendapat – pendapat yang dikeluarkan kaum sofis ini menimbulkan masalah – masalah baru karena kata – kata tidak digunakan untuk menjelaskan benda – benda tetapi cenderung membuat orang mengambil tindakan tertentu. Kaum sofis yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat di Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika yang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa segala sesuatu bersifat nisbi oleh karena itu diragukan kebenarannya.
Socrates juga menggunakan analitik bahasa dalam dialognya dengan kaum sofis untuk menyelesaikan kekacauan serta kesesatan pikir. Metode yang digunakannya disebut dialektis – kritis yang mungkin saat ini disebut dengan “interogasi”. Proses dialektis – kritis ini adalah mempertemukan dua pendirian atau lebih yang bertentangan atau merupakan pengembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar-ide. Dengan demikian, suatu pengertian atau pertanyaan belum bisa diterima salah – benarnya tanpa diuji. Metode ini sangat akurat, bahkan kaum sofis pun juga mengakui keakuratan metode ini. Metode ini bertujuan untuk memperbaiki masalah filosofis yang kacau karena kaum sofis
3. Heraklitos
Pada awalnya bahasa digunakan sebagai media komunikasi antara manusia dan dewanya. Tapi fungsi itu lama – kelamaan lenyap. Bahasa bukanlah tanpa suatu arti. Tapi bahasa adalah suatu simbol yang memiliki ciri – ciri fisis yang dapat mengankat pengetahuan manusia. Mereka menggunakan keterampilan berbicara untuk mendapatkan informasi itu. Dalam hal ini bahasa sangat berperan. Dengan bahasa pula kita bisa berfilsafat. Untuk menjelaskan segala sesuatu harus ada kesesuaian antara objek dengan simbol bahasanya. Itulah pemikiran dari Heraklitos. Sejak saat itu filsafat ilmu bergeser menjadi filsafat bahasa. Masa munculnya Heraklitos ini disebuat asal mula bahasa.
B. MASA ROMAWI, ABAD PERTENGAHAN DAN ERA RENAISSANCE
1. Masa Romawi
Pada era Romawi filsafat bahasa agak meredup. Sains lebih menarik dan banyak dikaji pada era ini. Oleh karena itu, perkembangan bahasa pada zaman Romawi mulai mengarah pada dasar – dasar linguistik. Tokoh – tokohnya yang terkenan adalah Varro dan Priscia (Gramatika).
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan masih hampir sama dengan zaman Romawi. Kajian bahasa cenderung ke arah linguistik. Pada abad ini perkembangan filsafat bahasa dijelaskan melalui dua arah, yaitu gramatika dan analisis bahasa. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dengan Summa Thelogiae – nya. Thomas yang pemikirannya diwarnai oleh nuansa teologi (seperti kebanyakan filsuf abad pertengahan) menurutnya untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah tertentu perlu memahami terlebih dahulu dengan baik apa yang telah disumbangkan pemikir besar lain. Lebih jauh Thomas mengajukan analisis bahasa untuk mencapai kebenaran, yaitu melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan melalui analisis premis.
3. Era Renaissance
Pada awal era ini, kebijakan gereja banyak mempengaruhi pemikiran dunia luar. Dogma disebarluaskan. Sehingga beberapa pemikiran pada era ini masih teologisentris. Dan era ini berakkhir dengan kemunculan Rene Descartes yang mengawali pemikiran pemikiran modern, termasuk filsafat modern.
C. ZAMAN MODERN, KELAHIRAN FILSAFAT BAHASA
1. Era Empirisme.
Akhir abad ke – 18 Terdapat dua aliran besar dalam dunia kefilsafatan. Yaitu aliran empirisme dan idealisme. Idealisme berkembang di Jerman sementara empirisme maju pesat di Inggris. Perubahan besar baru terjadi memasuki pertengahan abad 19 ketika idealisme mulai memasuki Inggris.
Puncaknya pada awal abad ke – 20 idealisme mendominasi Inggris mengalahkan empirisme yang banyak dianut oleh filsuf Inggris sebelumnya.Para idealis Inggris menyebut aliran mereka sebagai neo–idealisme atau neo-hegelianisme.
2. Neo-hegelianisme.
Nama aliran ini diambil dari nama seorang filsuf Jerman beraliran idealis yaitu Hegel. Ini dikarenakan pada masa ini para filsuf Inggris banyak dipengaruhi oleh ajaran Hegel. Padahal ajaran Hegel sendiri di Jerman sudah jarang digunakan.
Aliran neo-hegelianisme mengedepankan pendekatan – pendekatan metafisis agama untuk mengurai sebuah realita. Sehingga mereka sering menggunakan ungkapan – ungkapan yang bersifat universal untuk mengungkapkan sesuatu. Pendominasian filsafat neo-hegelianisme ini terjadi ketika ajaran Hegel tidak populer lagi di negeri asalnya. Munculnya neo-hegelianisme sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat Inggris sebelum munculnya idealisme.
Menurut Wiliam James, masuknya neo-hegelianisme di Inggris telah mempengaruhi perkembangan agama Kristen. Kant dan Hegel memiliki tujuan memulihkan kepercayaan-kepercayaan, lebih tepatnya kepercayaan agama Kristen. Tokoh-tokoh penganut neo-hegelianisme di Inggris, diantaranya adalah T.H. Green, Edward Chaird dan John Chaird, Francis Herberd Bradley, Bernard Bosanquet, dan J.E. Mctaggart. Gagasan-gagasan mereka sangat menyolok, diantaranya gagasan Bosanquet yaitu kebenaran ialah keseluruhan. Sedangkan Mctaggart dengan metode deduktifnya berpandangan tentang yang absolut sebagai a community of selves, yaitu persekutuan yang terdiri dari persona-persona.
3. Common Language (Edward Moore).
Filsafat neo-hegelianisme ini tidak bertahan lama di Inggris, karena digantikan dengan aliran neo-realisme. Cara berpikir kefilsafatan ini bertolak belakang dengan filsafat neo-hegelianisme. Tokoh-tokoh aliran neo-realisme menaruh perhatian besar pada penyelidikan linguistik dan logika analisis dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi-preposisi. Kelompok yang menamakan gerakan neo-realisme menentang keras paham idealisme yang ada pada pandangan Bradley, yaitu tentang Roh Absolut. Mereka kembali meninjau metode analisis bahasa, sehingga istilah-istilah seperti empirisme logis, positivisme logis, neo-positivisme, linguistic analysis, semantic analysis, philosopy of language dan filsafat analitik mulai dipakai. Sejak saat itulah dikenal istilah filsafat analitik yang selanjutnya sangat mempengaruhi corak filsafat abad ke-20, terutama di kawasan negeri-negeri Anglo-Saxon.
George Edward Moore, tokoh pertama yang memberikan kritikan pedas pada neo-hegelianisme menyatakan bahwa tugas filsafat yang sebenarnya Moore adalah seorang filsuf Inggris yang pertama kali menentang neo-hegelianisme. Dia menganggap aliran ini tidak masuk akal karena bertentangan dengan akal sehat dan sulit diterima nalar. Dia menyatakan bahwa common language (bahasa sehari – hari) sudah cukup sebagai sumber akal sehat untuk menjelaskan realita.
Sebagai catatan pada era ini corak filsafat di Inggris lebih condong ke arah analitik bahasa, sehingga mulai dikenal istilah filsafat analitik.
4. Gottlob Frege
Selain berkembang di Inggris, filsafat bahasa juga berkembang di Jerman. Kemudian untuk mempelajari filsafat bahasa modem ada seorang pakar filsafat dan matematika dari Jerman yang bernama Gottlob Frege. Dalam perjalananya menyelidiki sistem logika baru, dia menemukan pandangan-pandangan tentang bahasa yang Berjaya pada abad ke-19 yang sebagian besar diwakili oleh J.S.Mill yang berpengaruh. Agar bisa menempatkan karya kontemporer dalam filsafat bahasa dalam perspektif sejarah, Searle secara singkat mengemukakan beberapa perkembangan filsafat bahasa.
Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah perbedaan tentang arti (sence) dan acuan atau referensi (reference). Dia menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan (identitas).
Frege kemudian mengembangkan perbedaan ini ke arah ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Dia menyatakan bahwa di samping mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu pada konsep dan kalimat, mengungkapkan pikiran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa nilai kebenaran. Perluasan perbedaan tersebut di mata Searle kurang berpengaruh dibandingkan dengan pembedaan ungkapan-ungkapan pengacuan sebelumnya. Bagi Searle, pembedaan baru ini kehilangan “nurani” pemahaman yang paling brilian, sebagaimana yang ada pada pembedaan yang lama. Tapi satu unsur penting dari pandangan Frege tentang kalimat masih Berjaya.
Frege berkata, kita mesti membedakan antara pikiran yang diungkapkan oleh suatu kalimat dengan pernyataan tentang pikiran itu. Hal itu penting bagi argumen dalam artikel Searle dan Grice
5. Atomisme Logis (Bertrand Russell).
Konsep Moore tidak bertahan lama. Sahabat Moore, Bertrand Russell menyatakan bahwa bahasa sehari – hari memiliki telalu banyak kelemahan untuk menjelaskan sesuatu yang logis. Maka dia mengembangkan konsep atomisme logis untuk menyempurnakan konsep terdahulu.
Konsep atomisme logis Russell dipengaruhi oleh tiga tujuan filsafat Russell itu sendiri. Selain itu juga merefleksi terhadap landasan filsafatnya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi, dan proposisi atomik. Russell menginginkan penggunaan metode ilmiah bagi cara kerja filsafat. Selain itu, beliau juga mengungkapkan tugas dari filsafat pada dasarnya adalah analisis logis dan sintesis logis tentang fakta. Berdasarkan cara kerja yang telah diungkapkan Russell, sebenarnya beliau ingin menyusun teori atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan itu semua, selanjutnya Russell menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi agar tidak terjadi penyimpangan dalam bahasa filsafat sebagaimana terdapat dalam ungkapan yang dilontarkan para pendukung neo-hegelianisme.
Konsep atomisme logis menekankan pada penggunaan bahasa – bahasa logis untuk mengungkap sesuatu. Dengan berpijak pada bahasa logika Russell banyak mengungkap masalah – masalah dengan jalan menyepadankan (isomorf) masalah itu dengan hal yang sudah diketahui kebenarannya. Lewat atomisme logis ini Russell berhasil menjabarkan masalah yang membingungkan sejak zaman Socrates.
6. Meaning is picture (Wittgenstein I). Kelahiran Filsafat Bahasa
Wittgenstein merupakan filsuf asal Austria. Dia juga merupakan sahabat sekaligus murid dari Bertrand Russell.
Wittgenstein mengajukan konsep meaning is picture untuk menyempurnakan konsep atomisme logis Russell. Masih berpijak pada bahasa logis, namun Wittgenstein memberi sentuhan lain pada konsepnya dengan menyatakan bahwa makna adalah “gambar”. Gambar yang dimaksud di sini adalah penggunaan bahasa logika untuk menggambarkan suatu fenomena atau realita. Menurut Wittgenstein, bahasa logika memiliki proposisi elementer. Proposisi elementer adalah makna dasar dari sebuah proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Dengan proposisi elementer ini Wittgenstein mencoba mengatasi kelemahan bahasa dalam mengungkapkan makna kefilsafatan. Hanya saja pada tahap ini Wittgenstein tidak bisa memasukkan bahasa metafisika, karena metafisika melampaui batas bahasa sehingga tidak dapat dikatakan.
Dan dengan keluarnya teori Wittgenstein I ini maka menandai pula lahirnya filsafat bahasa
7. Positivisme Logis (Lingkaran Wina).
Aliran ini mendapat pengaruh dari konsep Wittgenstein. Hanya saja uniknya, aliran ini menyandingkan bahasa logika ala Wittgenstein dan Russell dengan aliran empiris. Sehingga mereka menganalisis sesuatu lewat bahasa dengan bantuan pengalaman inderawi mereka. Ada lima asumsi yang menjadi dasar pijakan bagi mereka yaitu realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko empirisme.
Masih sama dengan Wittgenstein, aliran ini tidak memasukkan metafisika ke dalam kajian mereka. Bahkan salah satu tokohnya, A.J. Ayer tidak mengakui metafisika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat karena ungkapan – ungkapan mengenai metafisika dianggap tidak bermakna dan tidak bisa dibuktikan secara inderawi.
8. Meaning is Use (Wittgenstein II).
Setelah meluncurkan teori pertamanya, yang dianut oleh banyak orang, Wittgenstein malah menganulir teorinya terdahulu. Menurut dia, bahasa akan memiliki makna bukan dari cara bahasa tadi menggambarkan sesuatu tapi dari jenis bahasa itu sendiri. Oleh karena itu secara radikal dia mengubah perhatiannya dari bahasa logika ke bahasa biasa. Dikatakan dalam bukunya bahwa bahasa memiliki aturan tersendiri yang dia sebut Language Games. Kesalahan makna yang selama ini menjadi masalah itu disebabkan oleh pelanggaran aturan penggunaan bahasa itu sendiri.
Menurut Wittgenstein, dengan penggunaan bahasa biasa, maka filsafat tidak lagi hanya sekadar berguna untuk menjelaskan sesuatu tapi juga menyederhanakan sesuatu. Ungkapan yang terkenal darinya adalah “Jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa”.
9. J.L. Austin
J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk membentuk tindakan.
Menurut Searle, pada periode sebelum perang dunia tadi memang banyak kecerobohan para filosof, kecuali Austin, ketika berbicara tentang penggunaan ungkapan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan dan ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan. Namun dalam artikelnya How to do the thing with words, ia mengubah teori aslinya itu. Apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindak tutur ini dengan tindak ilusioner, dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu terhadap pendengar, yang disebutnya tindak perlokusioner.
P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak lokusioner. Menurut Strawson, Austin membuat perbedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna”. Paparan yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989). Dia mengungkapkan, awalnya adalah pandangan kaum positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu ujaran hanya mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Wittgenstein (dalam Tractatus, 1921) menolak konsep ini dan mengemukakan bahwa makna suatu ujaran terletak pada pemakaiannya. Meskipun Wittgenstein bertolak dari penggunaan bahasa, yang besar pengaruhnya kemudian bukanlah dia, melainkan Austin.
10. Aliran Oxford.
Setelah Perang Dunia II (1945) filsafat analitik berkembang pesat sampai di kalangan akademisi Oxford dan merambah sampai Amerika Selatan. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford, yaitu : 1) pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang bagaimana cara kata-kata dipakai 2) orang menolak metode reduksionistis 3) filsafat analitis beranggapan bahwa hanya dengan melukiskan pemakaian bahasa secara mendetail banyak persoalan filsuf dapat dipecahkan. Hal-hal yang membedakan filsafat analitik periode ini dengan periode sebelumnya, yaitu : category mistake, task verb dan achivement verb, ucapan konstatif dan ucapan performatif dari John Langshaw Austin, speech acts, descriptive metaphysics oleh Peter Strawson, konsep refering to an object.
Aliran ini melanjutkan konsep Wittgenstein II. Mereka memfokuskan diri pada penggunaan bahasa biasa untuk berfilsafat. Kini arah kajian mereka difokuskan pada penyelidikan kesalahan pemakaian bahasa, pengelompokkan kata beserta fungsinya dan tindakan – tindakan bahasa. Yang dimaksud dengan tindakan bahasa adalah setiap kita mengucapkan sesuatu maka kita juga melakukan sesuatu itu.
11. Noam Chomsky
Pada tahun 1960-an timbullah aliran baru dalam lnguistik. Seorang sarjana bernama Noam Chomsky mengutarakan teorinya, yang pertama dalam syntactic structure, (1957) dan yang kedua dalam Aspect of the Theory of Syntax, (1965). Ia membuat spekulasi yang cukup berani tentang apa yang ada dalam pengertian orang sebelum ujaran dituturkan dan apa yang terjadi apabila seseorang mendengar ujaran itu. Chomsky tidak puas dengan kegiatan para sarjana dalam kelompok linguistik modern yang hanya memperhatikan bahasa dari sudut strukturnya dan fisiknya saja. Chomsky menghendaki agar hubungan antara wujud bahasa dan pikiran itu dapat dinyatakan di dalam sebuah perangkat sistem formula yang dinyatakan secara eksplisit dan tegas. Formula yang ada di dalam komponenen-komponen itu ialah formula yang menjadi gambaran kemampuan penutur yang ideal.
Dalam aliran pemikiran ini pengkajian dipusatkan kepada bagaimana bahasa itu dibangkitkan dari otak (generated), jadi bukan sekedar menganalisis data ucapan orang yang dapat direkam. Didalam aliran pemikiran ini juga ditekankan adanya hal-hal yang bersifat universal yamg dimiliki segala bahasa di dunia.

Selasa, 08 Juni 2010

Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.