Senin, 19 September 2011

Makna dari Makna

Makna. Bila menjelaskan apa sesungguhnya mengenai ‘makna’, butuh keselarasan pikiran untuk menyamakan persepsi. Dalam buah pikiran kita mempunyai gambaran yang sama mengenai ‘makna’. Tetapi, pada umumnya, bila dijnyatakan dengan ujaran atau pun tulisan, kita akan mempunyai persepsi berbeda mengenai apa itu makna. 

Perdebatan mengenai makna kata ‘meaning’ yang sesuai verba ‘mean’ dalam bahasa Inggris masih saja menemui titik masalah. Para ahli masih mempunyai banyak pilihan untuk menjelaskan ‘makna’. Diantaranya seperti: suatu sifat intrinsik, kata-kata lain yang dihubungkan dengan sebuah makna kata di dalam kamus, konotasi suatu kata, tempat sesuatu di dalam system, akibat praktis dari suatu hal di dalam pengalaman untuk masa depan, dan lain sebagainya. Kita masih diliputi pertanyaan yang membuat merenung bila suatu tanda dilisankan maupun dituliskan. Lalu ‘meaning’ mana yang digunakan untuk memaknai tanda tersebut. 

Inilah kekompleksan makna dalam bahasa yang sistematis. Komponen bahasa yang meliputi fona, silaba, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana mempunyai tanda dan makna sesuai dengan kapasitas masing-masing. Makna yang berupa tanda terdapat dengan jelas pada tataran kata hingga yang paling kompleks pada wacana. Wacana muncul dalam konteks yang semua elemen bahasa tercakup dalam wacana. Di dalam suatu wacanapun terkadang kita masih memilah-milah mana bagian yang ber-‘makna’ dan tidak ber-‘makna’. 

Beruntunglah dalam bahasa Indonesia mempunyai pernyataan ‘makna’ yang lebih khusus. ‘Makna’ bila diacukan atas definisi-definisi secara ilmu kebahasaan disebut dengan ‘arti’. Seperti contoh berikut: aku adalah bentuk orang pertama tunggal. Inilah yang disebut ‘arti’. Sedangkan ‘makna’ bila diacukan kepada pernyataan-pernyataan tertentu yang tersirat secara langsung maupun tidak langsung dan terdapat unsur suprasegmental disebut dengan ‘maksud’. Ketika kita menjumpai atau mendengar kata “keluar!” memilik pernyataan kita harus meninggalkan suatu tempat karena alas an tertentu, inilah yang disebut dengan ‘maksud’. Dan makna terdapat ditengah-tengah antara ‘arti’ dan ‘maksud’. 

Lalu apa tanda yang mampu menjelaskan tentang ‘makna’? Disinilah semantik berperan sebagai suatu disiplin ilmu. Semantik sebagai studi tentang makna merupakan masalah pokok dalam komunikasi. Semantik juga merupakan pusat studi tentang pikiran manusia, yaitu proses berfikir, kognisi, dan konseptual, yang saling berkaitan dengan cara kita mengklarifikasikan dan mengemukakan pengalaman kita tentang dunia nyata ini melalui bahasa. 

Berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Bila disiplin ilmu lain untuk menjelaskan suatu tanda maka batasan-batasan dalam mendefinisikan tanda tersebut hanya sebatas disiplin ilmu itu sendiri. Dan semantik mempunyai ‘makna’ yang mampu, bukan hanya, mendefinisikan tetapi juga menjelaskan dengan pernyataan yang logis. 

Sejalan dengan cara berfikir ilmiah bahwa penelitian yang menarik hasil sesuatu dianggap sebagai menguatkan atau melemahkan hipotesis dan bukannya untuk menemukan fakta tentang makna. Jika dianggap sebagai ketentuan penemuan, akan terjadi kegagalan karena penelitian tidak dapat membedakan akibat ‘semantik’ dengan akibat ‘faktual’, dan sebagainya. Tetapi ditinjau dari pengujian hipitesa, suatu penelitian tidak memerlukan ahli linguistik maupun informan untuk membuat perbedaan. Kategori factual hanya didefinisakn sebagai seperangkat observasi dan ahli linguistik tidak tertarik tentang apa yang ditemukan. 

Ada dua pendekatan makna yang dapat digambarkan disini. Pertama kaum mentalis beragam di dalam tingkat realitas psikologisnya yang ada pada mereka terhadap aturan kompetensi yang sudah dipostulasikan, dan pada tingkat akhir, hal ini tergantung tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh ahli semantik itu terhadap analisisnya sendiri, yang pada gilirannya harus menggantukan diri pada seberapa jauh telah mendapatkan tujuan ilmiah eksplisitnya, lengkapnya, sederhananya, dan kesesuaian dengan data. 

Pendekatan kedua yaitu pandangan kaum kontekstualistis. Mereka tidak berkehendak untuk menerima keseluruhan yang abstrak, yang masih hanya gambaran tidak jelas, yang tidak ada aksesnya pada tes operasional, maka kaum ‘neomentalis’ mengambil pendirian yang agak lunak terhadap kebenaran ilmiah, dengan menganggap teori yang abstrak mengenai kompetensi semantic dapat diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar