Rabu, 09 Juni 2010

Perkembangan Filsafat Bahasa

Pada uraian singkat kali ini akan coba dibabagkan perkembangan filsafat bahasa. Hanya saja pembabagan ini tidak diawali dari kelahiran filsafat bahasa, namun jauh dari awal bahasa itu dipergunakan manusia.
A. MASA YUNANI KUNO
1. Pra-Socrates
Pada masa Pra-Socrates muncul pendapat yang memperdebatkan bahasa itu bersifat konvensional (nomos) atau alamiah (fisei). Fisei menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah yang artinya mempunyai asal usul atau tidak dapat ditolak keberadaannya untuk mencapai makna secara alamiah. Sedangkan nomos menyatakan bahwa bahasa bersifat konfeksi yang artinya makna bahasa diperoleh melalui tradisi – tradisi yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman
2. Kaum sofis dan Socrates
Kaum sofis mengartikan hakikat bahasa dengan menghubungkan filsafat manusia. Karena manusia adalah sumber dari segala – galanya. Mereka menemukan pendekatan baru untuk mencari hakikat bahasa terutama bahasa manusia. Sehingga mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru yaitu Retorika. Kaum sofis ini dapat membedakan kalimat menjadi tujuh tipe karena mendalami retorika tadi. Tetapi dengan menggunakan retorika, pendapat – pendapat yang dikeluarkan kaum sofis ini menimbulkan masalah – masalah baru karena kata – kata tidak digunakan untuk menjelaskan benda – benda tetapi cenderung membuat orang mengambil tindakan tertentu. Kaum sofis yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat di Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika yang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa segala sesuatu bersifat nisbi oleh karena itu diragukan kebenarannya.
Socrates juga menggunakan analitik bahasa dalam dialognya dengan kaum sofis untuk menyelesaikan kekacauan serta kesesatan pikir. Metode yang digunakannya disebut dialektis – kritis yang mungkin saat ini disebut dengan “interogasi”. Proses dialektis – kritis ini adalah mempertemukan dua pendirian atau lebih yang bertentangan atau merupakan pengembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar-ide. Dengan demikian, suatu pengertian atau pertanyaan belum bisa diterima salah – benarnya tanpa diuji. Metode ini sangat akurat, bahkan kaum sofis pun juga mengakui keakuratan metode ini. Metode ini bertujuan untuk memperbaiki masalah filosofis yang kacau karena kaum sofis
3. Heraklitos
Pada awalnya bahasa digunakan sebagai media komunikasi antara manusia dan dewanya. Tapi fungsi itu lama – kelamaan lenyap. Bahasa bukanlah tanpa suatu arti. Tapi bahasa adalah suatu simbol yang memiliki ciri – ciri fisis yang dapat mengankat pengetahuan manusia. Mereka menggunakan keterampilan berbicara untuk mendapatkan informasi itu. Dalam hal ini bahasa sangat berperan. Dengan bahasa pula kita bisa berfilsafat. Untuk menjelaskan segala sesuatu harus ada kesesuaian antara objek dengan simbol bahasanya. Itulah pemikiran dari Heraklitos. Sejak saat itu filsafat ilmu bergeser menjadi filsafat bahasa. Masa munculnya Heraklitos ini disebuat asal mula bahasa.
B. MASA ROMAWI, ABAD PERTENGAHAN DAN ERA RENAISSANCE
1. Masa Romawi
Pada era Romawi filsafat bahasa agak meredup. Sains lebih menarik dan banyak dikaji pada era ini. Oleh karena itu, perkembangan bahasa pada zaman Romawi mulai mengarah pada dasar – dasar linguistik. Tokoh – tokohnya yang terkenan adalah Varro dan Priscia (Gramatika).
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan masih hampir sama dengan zaman Romawi. Kajian bahasa cenderung ke arah linguistik. Pada abad ini perkembangan filsafat bahasa dijelaskan melalui dua arah, yaitu gramatika dan analisis bahasa. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dengan Summa Thelogiae – nya. Thomas yang pemikirannya diwarnai oleh nuansa teologi (seperti kebanyakan filsuf abad pertengahan) menurutnya untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah tertentu perlu memahami terlebih dahulu dengan baik apa yang telah disumbangkan pemikir besar lain. Lebih jauh Thomas mengajukan analisis bahasa untuk mencapai kebenaran, yaitu melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan melalui analisis premis.
3. Era Renaissance
Pada awal era ini, kebijakan gereja banyak mempengaruhi pemikiran dunia luar. Dogma disebarluaskan. Sehingga beberapa pemikiran pada era ini masih teologisentris. Dan era ini berakkhir dengan kemunculan Rene Descartes yang mengawali pemikiran pemikiran modern, termasuk filsafat modern.
C. ZAMAN MODERN, KELAHIRAN FILSAFAT BAHASA
1. Era Empirisme.
Akhir abad ke – 18 Terdapat dua aliran besar dalam dunia kefilsafatan. Yaitu aliran empirisme dan idealisme. Idealisme berkembang di Jerman sementara empirisme maju pesat di Inggris. Perubahan besar baru terjadi memasuki pertengahan abad 19 ketika idealisme mulai memasuki Inggris.
Puncaknya pada awal abad ke – 20 idealisme mendominasi Inggris mengalahkan empirisme yang banyak dianut oleh filsuf Inggris sebelumnya.Para idealis Inggris menyebut aliran mereka sebagai neo–idealisme atau neo-hegelianisme.
2. Neo-hegelianisme.
Nama aliran ini diambil dari nama seorang filsuf Jerman beraliran idealis yaitu Hegel. Ini dikarenakan pada masa ini para filsuf Inggris banyak dipengaruhi oleh ajaran Hegel. Padahal ajaran Hegel sendiri di Jerman sudah jarang digunakan.
Aliran neo-hegelianisme mengedepankan pendekatan – pendekatan metafisis agama untuk mengurai sebuah realita. Sehingga mereka sering menggunakan ungkapan – ungkapan yang bersifat universal untuk mengungkapkan sesuatu. Pendominasian filsafat neo-hegelianisme ini terjadi ketika ajaran Hegel tidak populer lagi di negeri asalnya. Munculnya neo-hegelianisme sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat Inggris sebelum munculnya idealisme.
Menurut Wiliam James, masuknya neo-hegelianisme di Inggris telah mempengaruhi perkembangan agama Kristen. Kant dan Hegel memiliki tujuan memulihkan kepercayaan-kepercayaan, lebih tepatnya kepercayaan agama Kristen. Tokoh-tokoh penganut neo-hegelianisme di Inggris, diantaranya adalah T.H. Green, Edward Chaird dan John Chaird, Francis Herberd Bradley, Bernard Bosanquet, dan J.E. Mctaggart. Gagasan-gagasan mereka sangat menyolok, diantaranya gagasan Bosanquet yaitu kebenaran ialah keseluruhan. Sedangkan Mctaggart dengan metode deduktifnya berpandangan tentang yang absolut sebagai a community of selves, yaitu persekutuan yang terdiri dari persona-persona.
3. Common Language (Edward Moore).
Filsafat neo-hegelianisme ini tidak bertahan lama di Inggris, karena digantikan dengan aliran neo-realisme. Cara berpikir kefilsafatan ini bertolak belakang dengan filsafat neo-hegelianisme. Tokoh-tokoh aliran neo-realisme menaruh perhatian besar pada penyelidikan linguistik dan logika analisis dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi-preposisi. Kelompok yang menamakan gerakan neo-realisme menentang keras paham idealisme yang ada pada pandangan Bradley, yaitu tentang Roh Absolut. Mereka kembali meninjau metode analisis bahasa, sehingga istilah-istilah seperti empirisme logis, positivisme logis, neo-positivisme, linguistic analysis, semantic analysis, philosopy of language dan filsafat analitik mulai dipakai. Sejak saat itulah dikenal istilah filsafat analitik yang selanjutnya sangat mempengaruhi corak filsafat abad ke-20, terutama di kawasan negeri-negeri Anglo-Saxon.
George Edward Moore, tokoh pertama yang memberikan kritikan pedas pada neo-hegelianisme menyatakan bahwa tugas filsafat yang sebenarnya Moore adalah seorang filsuf Inggris yang pertama kali menentang neo-hegelianisme. Dia menganggap aliran ini tidak masuk akal karena bertentangan dengan akal sehat dan sulit diterima nalar. Dia menyatakan bahwa common language (bahasa sehari – hari) sudah cukup sebagai sumber akal sehat untuk menjelaskan realita.
Sebagai catatan pada era ini corak filsafat di Inggris lebih condong ke arah analitik bahasa, sehingga mulai dikenal istilah filsafat analitik.
4. Gottlob Frege
Selain berkembang di Inggris, filsafat bahasa juga berkembang di Jerman. Kemudian untuk mempelajari filsafat bahasa modem ada seorang pakar filsafat dan matematika dari Jerman yang bernama Gottlob Frege. Dalam perjalananya menyelidiki sistem logika baru, dia menemukan pandangan-pandangan tentang bahasa yang Berjaya pada abad ke-19 yang sebagian besar diwakili oleh J.S.Mill yang berpengaruh. Agar bisa menempatkan karya kontemporer dalam filsafat bahasa dalam perspektif sejarah, Searle secara singkat mengemukakan beberapa perkembangan filsafat bahasa.
Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah perbedaan tentang arti (sence) dan acuan atau referensi (reference). Dia menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan (identitas).
Frege kemudian mengembangkan perbedaan ini ke arah ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Dia menyatakan bahwa di samping mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu pada konsep dan kalimat, mengungkapkan pikiran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa nilai kebenaran. Perluasan perbedaan tersebut di mata Searle kurang berpengaruh dibandingkan dengan pembedaan ungkapan-ungkapan pengacuan sebelumnya. Bagi Searle, pembedaan baru ini kehilangan “nurani” pemahaman yang paling brilian, sebagaimana yang ada pada pembedaan yang lama. Tapi satu unsur penting dari pandangan Frege tentang kalimat masih Berjaya.
Frege berkata, kita mesti membedakan antara pikiran yang diungkapkan oleh suatu kalimat dengan pernyataan tentang pikiran itu. Hal itu penting bagi argumen dalam artikel Searle dan Grice
5. Atomisme Logis (Bertrand Russell).
Konsep Moore tidak bertahan lama. Sahabat Moore, Bertrand Russell menyatakan bahwa bahasa sehari – hari memiliki telalu banyak kelemahan untuk menjelaskan sesuatu yang logis. Maka dia mengembangkan konsep atomisme logis untuk menyempurnakan konsep terdahulu.
Konsep atomisme logis Russell dipengaruhi oleh tiga tujuan filsafat Russell itu sendiri. Selain itu juga merefleksi terhadap landasan filsafatnya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi, dan proposisi atomik. Russell menginginkan penggunaan metode ilmiah bagi cara kerja filsafat. Selain itu, beliau juga mengungkapkan tugas dari filsafat pada dasarnya adalah analisis logis dan sintesis logis tentang fakta. Berdasarkan cara kerja yang telah diungkapkan Russell, sebenarnya beliau ingin menyusun teori atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan itu semua, selanjutnya Russell menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi agar tidak terjadi penyimpangan dalam bahasa filsafat sebagaimana terdapat dalam ungkapan yang dilontarkan para pendukung neo-hegelianisme.
Konsep atomisme logis menekankan pada penggunaan bahasa – bahasa logis untuk mengungkap sesuatu. Dengan berpijak pada bahasa logika Russell banyak mengungkap masalah – masalah dengan jalan menyepadankan (isomorf) masalah itu dengan hal yang sudah diketahui kebenarannya. Lewat atomisme logis ini Russell berhasil menjabarkan masalah yang membingungkan sejak zaman Socrates.
6. Meaning is picture (Wittgenstein I). Kelahiran Filsafat Bahasa
Wittgenstein merupakan filsuf asal Austria. Dia juga merupakan sahabat sekaligus murid dari Bertrand Russell.
Wittgenstein mengajukan konsep meaning is picture untuk menyempurnakan konsep atomisme logis Russell. Masih berpijak pada bahasa logis, namun Wittgenstein memberi sentuhan lain pada konsepnya dengan menyatakan bahwa makna adalah “gambar”. Gambar yang dimaksud di sini adalah penggunaan bahasa logika untuk menggambarkan suatu fenomena atau realita. Menurut Wittgenstein, bahasa logika memiliki proposisi elementer. Proposisi elementer adalah makna dasar dari sebuah proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Dengan proposisi elementer ini Wittgenstein mencoba mengatasi kelemahan bahasa dalam mengungkapkan makna kefilsafatan. Hanya saja pada tahap ini Wittgenstein tidak bisa memasukkan bahasa metafisika, karena metafisika melampaui batas bahasa sehingga tidak dapat dikatakan.
Dan dengan keluarnya teori Wittgenstein I ini maka menandai pula lahirnya filsafat bahasa
7. Positivisme Logis (Lingkaran Wina).
Aliran ini mendapat pengaruh dari konsep Wittgenstein. Hanya saja uniknya, aliran ini menyandingkan bahasa logika ala Wittgenstein dan Russell dengan aliran empiris. Sehingga mereka menganalisis sesuatu lewat bahasa dengan bantuan pengalaman inderawi mereka. Ada lima asumsi yang menjadi dasar pijakan bagi mereka yaitu realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko empirisme.
Masih sama dengan Wittgenstein, aliran ini tidak memasukkan metafisika ke dalam kajian mereka. Bahkan salah satu tokohnya, A.J. Ayer tidak mengakui metafisika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat karena ungkapan – ungkapan mengenai metafisika dianggap tidak bermakna dan tidak bisa dibuktikan secara inderawi.
8. Meaning is Use (Wittgenstein II).
Setelah meluncurkan teori pertamanya, yang dianut oleh banyak orang, Wittgenstein malah menganulir teorinya terdahulu. Menurut dia, bahasa akan memiliki makna bukan dari cara bahasa tadi menggambarkan sesuatu tapi dari jenis bahasa itu sendiri. Oleh karena itu secara radikal dia mengubah perhatiannya dari bahasa logika ke bahasa biasa. Dikatakan dalam bukunya bahwa bahasa memiliki aturan tersendiri yang dia sebut Language Games. Kesalahan makna yang selama ini menjadi masalah itu disebabkan oleh pelanggaran aturan penggunaan bahasa itu sendiri.
Menurut Wittgenstein, dengan penggunaan bahasa biasa, maka filsafat tidak lagi hanya sekadar berguna untuk menjelaskan sesuatu tapi juga menyederhanakan sesuatu. Ungkapan yang terkenal darinya adalah “Jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa”.
9. J.L. Austin
J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk membentuk tindakan.
Menurut Searle, pada periode sebelum perang dunia tadi memang banyak kecerobohan para filosof, kecuali Austin, ketika berbicara tentang penggunaan ungkapan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan dan ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan. Namun dalam artikelnya How to do the thing with words, ia mengubah teori aslinya itu. Apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindak tutur ini dengan tindak ilusioner, dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu terhadap pendengar, yang disebutnya tindak perlokusioner.
P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak lokusioner. Menurut Strawson, Austin membuat perbedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna”. Paparan yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989). Dia mengungkapkan, awalnya adalah pandangan kaum positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu ujaran hanya mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Wittgenstein (dalam Tractatus, 1921) menolak konsep ini dan mengemukakan bahwa makna suatu ujaran terletak pada pemakaiannya. Meskipun Wittgenstein bertolak dari penggunaan bahasa, yang besar pengaruhnya kemudian bukanlah dia, melainkan Austin.
10. Aliran Oxford.
Setelah Perang Dunia II (1945) filsafat analitik berkembang pesat sampai di kalangan akademisi Oxford dan merambah sampai Amerika Selatan. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford, yaitu : 1) pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang bagaimana cara kata-kata dipakai 2) orang menolak metode reduksionistis 3) filsafat analitis beranggapan bahwa hanya dengan melukiskan pemakaian bahasa secara mendetail banyak persoalan filsuf dapat dipecahkan. Hal-hal yang membedakan filsafat analitik periode ini dengan periode sebelumnya, yaitu : category mistake, task verb dan achivement verb, ucapan konstatif dan ucapan performatif dari John Langshaw Austin, speech acts, descriptive metaphysics oleh Peter Strawson, konsep refering to an object.
Aliran ini melanjutkan konsep Wittgenstein II. Mereka memfokuskan diri pada penggunaan bahasa biasa untuk berfilsafat. Kini arah kajian mereka difokuskan pada penyelidikan kesalahan pemakaian bahasa, pengelompokkan kata beserta fungsinya dan tindakan – tindakan bahasa. Yang dimaksud dengan tindakan bahasa adalah setiap kita mengucapkan sesuatu maka kita juga melakukan sesuatu itu.
11. Noam Chomsky
Pada tahun 1960-an timbullah aliran baru dalam lnguistik. Seorang sarjana bernama Noam Chomsky mengutarakan teorinya, yang pertama dalam syntactic structure, (1957) dan yang kedua dalam Aspect of the Theory of Syntax, (1965). Ia membuat spekulasi yang cukup berani tentang apa yang ada dalam pengertian orang sebelum ujaran dituturkan dan apa yang terjadi apabila seseorang mendengar ujaran itu. Chomsky tidak puas dengan kegiatan para sarjana dalam kelompok linguistik modern yang hanya memperhatikan bahasa dari sudut strukturnya dan fisiknya saja. Chomsky menghendaki agar hubungan antara wujud bahasa dan pikiran itu dapat dinyatakan di dalam sebuah perangkat sistem formula yang dinyatakan secara eksplisit dan tegas. Formula yang ada di dalam komponenen-komponen itu ialah formula yang menjadi gambaran kemampuan penutur yang ideal.
Dalam aliran pemikiran ini pengkajian dipusatkan kepada bagaimana bahasa itu dibangkitkan dari otak (generated), jadi bukan sekedar menganalisis data ucapan orang yang dapat direkam. Didalam aliran pemikiran ini juga ditekankan adanya hal-hal yang bersifat universal yamg dimiliki segala bahasa di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar